feedburner
Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

feedburner count

MEMBANGUN DAYA SAING FARMASI INDONESIA MENGHADAPI HARMONISASI REGULASI FARMASI ASEAN

By DR.Sampurno


Pendahuluan
Harmonisasi regulasi farmasi ASEAN telah menjadi kesepakatan dan komitmen regional yang akan dilaksanakan pada tahun 2008 . Dalam waktu kurang dari dua tahun, farmasi Indonesia akan memasuki era baru sekaligus lanskap baru yang penuh dengan tantangan dengan implikasinya yang luas. Harmonisasi tersebut akan menciptakan pasar tunggal ASEAN untuk produk farmasi. Suatu peluang sekaligus ancaman potensial bagi farmasi Indonesia menghadapi persaingan regional yang terbuka dan tidak terproteksi.
Harmonisasi regulasi farmasi ASEAN tidak hanya berimplikasi pada industri farmasi Indonesia, tetapi juga pada seluruh mata rantai kefarmasian Indonesia. Pertanyaan stratejiknya adalah apakah Indonesia telah memiliki keunggulan daya saing nasional (national competitive advantage) dalam menghadapi pasar tunggal farmasi ASEAN? Dalam skala mikro jawabannya terletak pada distinctive resources dan capabilities advantage yang dimiliki oleh Indonesia. Bersamaan dengan itu lingkungan makro strategis Indonesia tentu dituntut untuk lebih kompetitif dalam memfasilitasi dan memacu pertumbuhan kefarmasian Indonesia.
Perlu disadari bahwa pada pasar tunggal farmasi ASEAN nanti yang bersaing tidak hanya diantara negara-negara ASEAN, tetapi perusahaan-perusahaan global MNC dipastikan akan memainkan peran dan memanfaatkan peluang yang ada. Market size ASEAN yang cukup besar dan buying power yang terus meningkat merupakan attractiveness tersendiri bagi MNC untuk ‘mengendalikan” pasar farmasi ASEAN. Perusahaan farmasi MNC tentu mempunyai kalkulasi tersendiri di negara ASEAN mana mereka akan membangun regional base sekaligus melakukan investasi yang besar. Menghadapi tantangan dengan lanskap persaingan yang lebih complicated, Indonesia harus mempunyai persiapan dan kesiapan sehingga tantangan tersebut dapat dikonversikan menjadi peluang dan energi yang memacu kemajuan kefarmasian Indonesia. Dalam konteks ini kefarmasian Indonesia harus memiliki scenario, road map dan planning dengan arah dan goal yang jelas.
Semua unsur dan elemen kefarmasian Indonesia mesti bergerak kedepan membangun keunggulan kompetitif yang sustainable. Dalam konteks ini Pemerintah harus mampu berlaku sebagai dirigen orchestra kefarmasian yang cerdas dan visioner. Kekalahan fatal dapat terjadi jika institusi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang kefarmasian tidak memahami persoalan dan tidak memiliki visi. Pada point ini Pemerintah bahkan dapat menjadi faktor kendala bagi kemajuan kefarmasian Indonesia.

Industri Farmasi Global dan Regional
Dalam realitasnya industri farmasi mempunyai kontribusi stratejik dengan multiplier effect yang luas pada semua aspek interal kefarmasian. Industri farmasi (MNC) ádalah kompleks, dinamis dan berdimensi global dengan karasteristik belanja (expenditure) R&D yang tinggi dan regulasi yang ketat. Pada industri farmasi, knowledge dan knowledge management mempunyai peran yang penting, karena industri farmasi ádalah strongly science-based industry dan the most research – intensive and innovative sector manufacturing .
Pada tigapuluh tahun terakhir ini industri farmasi mengalami perubahan yang dramatik . Kemajuan pada sain biologi dan hadirnya bioteknologi merupakan mesin revolusi ini . Dimulai penemuan ’double helix structur of DNA” dan pengembangan teknik rekayasa genetik maka kemampuan untuk memahami mekanisme aksi obat dan biokimia serta akar molekuler banyak penyakit menjadi meningkat cepat. Hal ini menciptakan peluang untuk pengobatan baru yang sangat bermakna bagi industri farmasi.
Industri bioteknologi bertumpu pada dua kemajuan revolusioner, yaitu penemuan rekayasa genetik (genetic engineering) dan teknologi antibodi monoclonal (monoclonal antibody). Perubahan terpenting terutama adalah diketemukannya target molekuler pada enzim dan permukaan sel reseptor. Dengan demikian obat dapat diarahkan pada sasaran nuclear sebagai nucleic acid, faktor-faktor transkripsi dan reseptor-reseptor intra selular. Perusahaan–perusahaan farmasi yang berbasis riset mengintegrasikan teknologi ini dan melakukan investasi secara besar-besaran.

Rekayasa genetik memberikan kepada ilmuwan di industri farmasi suatu alat baru untuk lebih mempercepat pemahaman mereka tentang genetik dan mekanisme suatu penyakit. Dengan alat yang sama dapat dilakukan identifikasi target molekul pada virus dan bakteri yang menjadi penyebab penyakit infeksi. Metoda baru ini pada kenyataannya memiliki presisi yang tinggi sehingga dapat mempercepat pengobatan.
Berkorelasi dengan peran stratejik bioteknologi ini maka pada tahun 1995, perusahaan farmasi membelanjakan US$ 3,5 miliar untuk mengakuisisi perusahaan bioteknologi dan membayar US$ 1,6 miliar untuk perjanjian lisensi R&D. Pada tahun 2001 bioteknologi memberikan kontribusi pada pengembangan produk baru mencapai 35%.
Sementara itu belanja R&D di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang juga terus meningkat secara signifikan. Komitmen terhadap R&D sangat jelas terefleksikan dengan meningkatnya R&D terhadap penjualan industri farmasi di tingkat global. Selama tahun 1970-an persentase biaya R&D terhadap penjualan berkisar 11,5% dan selama tahun 1980-an dan tahun 1992 menjadi 17%. Pada tahun 1995 dan 1996 meningkat lagi menjadi 19%.
Perusahaan farmasi global menghadapi kondisi demanding dalam R&D dan harus melakukan investasi dalam jumlah yang besar. Untuk menemukan obat baru – new chemical entity – sampai menjualnya di pasar, diperlukan biaya antara US$ 350 juta sampai dengan US& 500 juta. Faktor yang menyebabkan besarnya biaya inovasi obat antara lain ialah: 1) teknologi; 2) bahan aktif baru yang lebih kompleks; 3) riset berfokus pada penyakit kronik dan degeneratif dengan biaya yang lebih mahal dan 4) persyaratan regulatori yang lebih ketat.
Perusahaan farmasi dengan belanja R&D yang besar dan konsisten, pada kenyataannya menjadi pemimpin industri . Hal ini karena intensitas R&D mempunyai relevansi dengan pertumbuhan penjualan. Dalam tahun 1995, industri farmasi global menunjukkan peningkatan penjualan 9,7% per tahun dengan kenaikan harga pada tingkat sedang.
Achilladelis dan Antonakis (2000) dalam studinya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan/korelasi antara level belanja R&D dengan kemampuan inovasi. Dalam kasus industri farmasi, Amerika Serikat, Switzerland, Jerman, Inggris dan Perancis memberikan kontribusi lebih dari 80% inovasi dan mereka mengekspor lebih dari 60% perdagangan farmasi dunia.
Sejalan dengan meningkatnya belanja R&D pada industri farmasi, penjualan global produk farmasi juga meningkat dalam jumlah yang signifikan. Pada tahun 1975 penjualan pasar farmasi dunia tercatat US$ 30 miliar, tahun 1995 meningkat menjadi US$ 250 miliar dan tahun 2005 meningkat lagi menjadi US$ 602 miliar. Demikian juga pasar Amerika Serikat mengalami kenaikan yang cukup besar. Pada tahun 1975 total penjualan di Amerika Serikat tercatat hanya US$ 6,5 miliar tahun 1995 meningkat menjadi US$ 30 miliar dan tahun 2005 meningkat menjadi US$ 265 miliar. Dewasa ini Amerika Serikat, Eropa dan Jepang merupakan pasar farmasi terbesar di dunia.
PERKEMBANGAN PASAR FARMASI GLOBAL DAN USA
(dalam millar US$)
(diolah dari berbagai sumber)

Realitas tersebut diatas sejalan dengan pendapat bahwa pertumbuhan dan perkembangan suatu perusahaan tergantung pada kemampuannya untuk meluncurkan produk baru. Untuk mencapai keberhasilan ini diperlukan technological knowledge, kemampuan untuk mengkombinasikan elemen-elemen ilmu pengetahuan pada produk baru yang berharga (valuable new product) dan aset komplementer untuk memfasilitasinya, antara lain manufakturing, penjualan dan distribusi produk tersebut.
Pada tahun 2001 pasar farmasi Asia Pasifik (13 negara di luar Jepang) mencapai sekitar US$ 26 miliar. Pasar Asia Pasifik tersebut (di luar Jepang) sekitar 70% di dominasi oleh 4 negara yaitu China, India, Korea dan Australia. Realitas ini juga sejalan dengan kekuatan pengembangan industri bahan baku farmasi di Asia yaitu Jepang, China, India dan Korea.

Industri farmasi di kawasan ASEAN mempunyai pertumbuhan yang cukup baik, meskipun masing-masing memiliki pola pertumbuhan yang relatif berbeda dalam konteks industri farmasi domestiknya. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia memiliki industri farmasi domestik yang paling kuat dan market size yang paling besar.
Industri farmasi domestik Indonesia memiliki market share sekitar 75% dan MNC sekitar 25%. Di Malaysia, Thailand dan Filipina market share MNC (termasuk produk MNC yang diimpor) lebih besar dibandingkan dengan market share industri farmasi domestiknya. Ini berarti pada pasar tunggal farmasi ASEAN nanti, industri farmasi Indonesia tidak akan hanya bersaing dengan industri domestik, tetapi juga akan bersaing dengan MNC yang beroperasi di ASEAN. Dalam konteks ini harus ada strategi yang jelas pada segmen mana industri farmasi Indonesia akan bersaing di pasar ASEAN.

Dibandingkan dengan populasi, meski pertumbuhan pasar farmasi Indonesia cukup baik – market size Indonesia masih kurang proporsional dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Hal ini disebabkan tingkat konsumsi obat per kapita Indonesia masih terendah di ASEAN.

Industri Farmasi Indonesia
Industri farmasi Indonesia tentu tidak dapat mengoslasi diri dari perkembangan dan persaingan regional maupun global. Tantangan dan permasalahan yang dihadapi oleh industri farmasi Indonesia akan semakin kompleks. Terbentuknya pasar tunggal farmasi ASEAN akan menyebakan produk farmasi lebih leleuasa keluar masuk diantara negara-negara ASEAN tanpa adanya barrier, baik tariff barrier maupun non tariff barrier.
Sebagaimana negara-negara yang sedang berkembang lainnya, industri farmasi Indonesia bukan research based company . Industri farmasi Indonesia (perusahaan domestik) beroperasi terutama pada obat branded generic (obat off patent), obat lisensi dan obat generik. Implikasinya adalah kegiatan R&D mempunyai porsi yang kecil dan berperan kurang signifikan pada pertumbuhan industri farmasi. Kecilnya peran R&D ini tercermin dalam alokasi biaya R&D industri farmasi Indonesia rata-rata di bawah 2% dari penjualan . Riset yang dilakukan terbatas hanya pada formulasi produk, bukan pengembangan bahan baku baru (new chemical entity/NCE). Kedepan implikasinya adalah perusahaan farmasi Indonesia tidak akan pernah bersaing pada pasar obat paten/obat inovatif .
Market size industri farmasi Indonesia mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Pada tahun 1980 obat yang beredar di Indonesia bernilai sebesar US$ 483 juta dan pada tahun 2004 tercatat US$ 2 miliar Profil industri farmasi tahun 2004 dapat dilihat pada gambar di bawah.
Area persaingan perusahaan farmasi domestik Indonesia adalah pada pasar branded generik dan obat generik. Perkembangan pasar obat bebas (OTC) di Indonesia juga cukup tinggi dari tahun ketahun. Market share obat OTC di Indonesia di dominasi oleh perusahaan farmasi domestik. Meskipun hanya bergerak pada segmen branded generik, top 10 perusahaan farmasi di Indonesia sebagain besar adalah perusahaan-perusahaan domestik, seperti terlihat pada gambar di bawah.

Dari profil tersebut di atas terlihat top 20 perusahaan farmasi menguasai market share lebih dari 50% dan top 60 perusahaan mengontrol pasar sekitar 84%. Ini berarti lebih dari 140 perusahaan hanya memiliki market share 16%. Fakta ini menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan manufaktur farmasi Indonesia beroperasi pada skala kecil. Dalam konteks ini policy maker harus memiliki kebijakan dan strategi pemberdayaan industri farmasi skala kecil ini agar tetap eksis menghadapi persaingan pasar farmasi tunggal ASEAN sehingga mereka tidak tercerabut dari pasar di negerinya sendiri.
Meskipun belum dalam jumlah yang besar, beberapa perusahaan manufaktur farmasi Indonesia telah mampu melakukan ekspor termasuk ke ASEAN. Potensi ini perlu terus dikembangkan dan difasilitasi oleh Pemerintah dengan kebijakan yang lebih komprehensif termasuk memberikan insentif yang atraktif bagi perusahaan yang mampu mengembangkan ekspor.

Import - Ekspor

Memasuki era pasar tunggal farmasi ASEAN, industri farmasi harus memperkuat keunggulan kompetitifnya terutama dengan memperkuat intangible assets-nya yang meliputi: human capital, structural capital, customer capital dan partner capital. Pemenuhan persyaratan cGMP saja tidak akan cukup untuk menjadi pemain regional yang tangguh. Innovativeness. kekuatan R&D dan kompetensi marketing adalah elemen penting yang masih harus diperkuat terus fondasinya. Untuk pengembangan ekspor, industri farmasi Indonesia harus membangun aliansi stratejik dengan mitra lokal di ASEAN. Dalam konteks ini Pemerintah harus proaktif melakukan pendekatan bilateral dengan reciprocal policy yang atraktif bagi para pihak .
Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia
Lembaga pendidikan tinggi farmasi sesungguhnya mempunyai peran yang sangat stratejik, baik dalam konteks penyiapan tenaga-tenaga profesional maupun sebagai reseach centre farmasi di Indonesia. Disayangkan kedua fungsi utama tersebut tidak workable optimal. Banyak lembaga pendidikan tinggi farmasi di Indonesia terutama pendatang baru yang terperangkap dalam paradigma kuantitas.
Jumlah lembaga pendidikan tinggi farmasi di Indonesia (lebih dari 40 institusi?) secara ekstrem telah melebihi kebutuhan riil dan daya dukung infrastruktur kefarmasian Indonesia. Ketidak seimbangan antara suppy dan demand ini mempunyai implikasi yang sangat serius terhadap kualitas dan eksistensi profesi farmasi di masa depan. Over supply pharmacist yang tidak mengindahkan aspek mutu secara ketat, akan menyebabkan value dan bargaining position profesi farmasi mengalami degradasi di masa mendatang. Untuk itu adalah suatu keharusan untuk meriview kembali sistem, kualitas maupun kuantitas lembaga pendidikan tinggi farmasi di Indonesia dengan standar yang ketat.
Di era globalisasi dan perdagangan bebas ini, mestinya lembaga pendidikan tinggi farmasi di Indonesia berani melakukan redesign sistem pendidikan dan trainingnya, bahkan sudah saatnya melakukan kolaborasi – joint program dengan lembaga pendidikan tinggi farmasi terkemuka di dunia dengan membuka kelas internasional.
Dalam rangka memperkuat kapabilitas pendidikan tinggi farmasi di Indonesia sudah saatnya dikembangkan kolaborasi – mutual benefit - dengan berbagai industri farmasi, obat tradisional, kosmetika dan makanan sebagai teaching industry. Demikan juga dengan rumah sakit pendidikan untuk memperkuat basis clinical pharmacy. Lembaga pendidikan tinggi farmasi harus dapat bergerak paralel dan bersinergi dengan industri farmasi maupun industri jasa kesehatan. Dengan demikian lembaga pendidikan tinggi farmasi dapat menjadi pilar yang kuat bagi pengembangan kefarmasian Indonesia di masa depan.
Saat ini kegiatan riset dan pengembangan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan tinggi farmasi relatif masih sangat terbatas dan sebagian besar tidak memiliki peluang untuk dapat dikembangkan secara komersial. Dalam konteks ini perlu dilakukan mediasi antara lembaga pendidikan tinggi farmasi dan industri. Riset terapan komersial akan lebih efisien bila dilakukan oleh tenaga peneliti di universitas yang didukung pembiayaan dari industri atau pemerintah .

Farmasi Komunitas dan Farmasi Klinik
Out put terbesar (80%) lembaga pendidikan tinggi farmasi Indonesia bekerja pada farmasi komunitas. Disayangkan eksistensi dan peran profesi farmasi di lini ini justru merupakan titik lemah yang paling krusial. Farmasi komunitas (apotik) telah beralih fungsi menjadi bisnis ritel yang kehilangan core competence-nya dalam pharmaceutical care. Untuk melakukan perombakan secara mendasar memang tidak sederhana karena terkait dengan ribuan investor/pemilik sarana apotik. Dalam konteks ini ada 2 opsi untuk melakukan pembedayaan dan revitalisasi farmasi komunitas.
Pertama, revitalisasi fungsi apoteker dengan kewajiban pelayanan obat etikal hanya oleh apoteker (pekerjaan kefarmasian di apotik dilakukan oleh apoteker – tidak dapat diwakilkan kepada asisten apoteker). Konsekwensinya apabila apoteker tidak ada maka pelayanan obat etikal tidak dapat dilakukan oleh apotik . Dengan kata lain : No Pharmacist No Service.
Kedua, diberikan peluang adanya ”apotik praktek profesi perorangan” bagi apoteker. Apotik model ini adalah sarana farmasi untuk melaksanakan pekerjaan kefarmasian yang lebih bersifat individual profesi. Untuk merealisasikannya tidak diperlukan peraturan perundang-undangan baru. Kata kunci terpenting dalam hal ini adalah kesiapan para apoteker sendiri untuk melaksanakan pekerjaan kefarmasian secara mandiri yang karenanya dituntut entreprenourship yang tinggi.
Pada farmasi komunitas maupun farmasi klinik harus ada reorientasi yang bersifat mendasar; dari orientasi produk (pharmaceutical product) berubah menjadi orientasi customer/pasien. Prubahan orientasi ini selain memerlukan penguatan subtansi yang bersifat keilmuan, juga memerlukan ajustment dan improvement attitude dan behavior apoteker itu sendiri.
Latar belakang pendidikan dan profesional training yang bersifat product oriented, menyebabkan apoteker selama ini kurang berinteraksi langsung dengan customer/publik. Implikasinya profesi apoteker kurang dikenal oleh masyarakat luas dan akibatnya apoteker tidak memiliki public image yang kuat. Demikian juga substansi pelatiihan/praktek di tingkat pra-profesi dan tingkat profesi untuk farmasi klinik dirasakan masih kurang memadai. Belum ada konsep mata kualiah dan praktek yang baku tentang farmasi klinik di rumah sakit (konsep teaching hospital untuk farmasi klinik). Kelemahan ini berimplikasi pada performance farmasi klinik di Indonesia pada semua strata RS.
Selain itu , perlu ada dukungan legal base bagi pengembangan profesi farmasi klinik di rumah sakit. Secara fungsional maupun struktural, farmasi rumah sakit (hospital pharmacy) belum mendapatkan space yang layak di Indonesai. Fungsi farmasi rumah sakit dihampir semua rumah sakit di Indonesia hanya berkisar pada fungsi logistik farmasi. Fungsi pemilihan obat (drug choice) untuk pasien serta monitoring khasiat dan keamanan obat di RS belum dapat dilaksanakan. Demikian pula Komite Terapi dan Farmasi belum dapat berfungsi di hampir semua RS termasuk Rumah Sakit Pendidikan klas A.
Realitas-realitas tersebut diatas mestinya mendorong adanya suatu studi dan kajian tentang kerasionalan penggunaan obat dan implikasinya terhadap risiko pasien termasuk beban biaya obat yang makin besar yang harus dibayar oleh pasien.

Peran Stratejik Pemerintah
Pasar tunggal farmasi ASEAN mempunyai konsekwensi dan implikasi yang luas dan kompleks pada fungsi regulasi, pembinaan dan pengawasan di bidang farmasi. Untuk itu harus dikembangkan sistem pengawasan dengan jaringan kerja (networking) yang efektif dan efisen yang mengcover seluruh wilayah Indonesia. Sistem pengawasan perlu dikembangkan dalam tiga lapis; susb sistem produsen/pelaku usaha, sub sistem pengawasan pemerintah dan sub sistem pemberdayaan publik.
Pelaku usaha termasuk industri manufaktur, importir dan distributor mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap seluruh aspek produk yang diproduksi dan diedarkannya. Untuk itu penting dipenuhi dan dilaksanakannya cGMP dan GDP untuk memastikan bahwa semua proses dan sistem dilaksanakan secara benar.
Dalam konteks menghadapi pasar tunggal farmasi ASEAN telah dilakukan maping industri farmasi Indonesia dengan basis pada pemenuhan persyaratan cGMP. Berdasarkan hasil maping tersebut dapat dirumuskan kebijakan yang lebih komprehensif untuk meningkatkan kapabilitas industri farmasi Indonesia dalam menghadapi pasar tunggal farmasi ASEAN .
Peran dan fungsi pemerintah ke depan harus memiliki prespektif yang lebih luas dalam memberikan perlindungan kepada konsumen. Pengawasan oleh Pemerintah harus ’full spectrum” mencakup pre-market dan post market dengan format sebagai agency yang indipenden, profesional dan internationally well recognized. Indipendensi intitusi pengawasan farmasi mutlak diperlukan untuk menjamin semua kebijakan dan operasionalisasi organisasi memiliki kredibelitas dan akuntabilitas dalam melindungi keselamatan dan kepentingan publik. Pregeseran format organisasional dari indipendent agency menjadi organisasi ”sub ordinat”, akan memiliki implikasi yang fatal bagi perlindungan publik. Agency tidak lagi memiliki speed dan kemandirian profesional untuk menyelesaikan permasalahan dengan pendekatan kesisteman maupun kecepatan operasional. Dampak negatif lainnya adalh agency tidak tumbuh sebagai knowledge-based organization tetapi menjadi organisasi birokrat yang lamban yang tidak memiliki sensitifitas publik.
Dalam sistem pengawasan kefarmasian, community empowerment memiliki peran yang sangat penting. Oleh karena itu peran aktif publik perlu diberikan space yang luas sekaligus untuk menciptakan public awareness agar konsumen dapat melindungi dirinya sendiri dari penggunaan produk-produk yang tidak memunuhi persyaratan dan berisiko pada keselamatan konsumen.
Fungsi dan peran sub sitem-sub sistem tersebut diatas akan dapat dilaksanakan dengan baik bila Pemerintah menjadi regulator yang visioner dan memahami substansi stratejikn serta mempunyai komitmen yang kuat.




1 komentar:
gravatar
Anonim mengatakan...
29 Maret 2012 pukul 19.35  

Mohon lain kali diberikan daftar pustaka nya, agar lebih jelas, jangan hanya menuliskan nama orangnya saja. terlalu banyak untuk sebuah kutipan. jangan jadikan kebiasaan. thnx

Posting Komentar